Pemerintah Ingkari Konstitusi
Editorial SH | Rabu, 09 Mei 2012 - 15:23:21 WIB
Dibaca : 70
(dok/ist)Ini merupakan bentuk pelanggaran hak-hak asasi manusia.
Pelan namun pasti (karena dibiarkan pemerintah dan negara) bangsa
Indonesia sedang menuju suatu masyarakat yang diskriminatif. Mereka yang
“merasa” diri berjumlah banyak akan menindas dan menganiaya kaum yang
jumlahnya lebih sedikit dalam banyak perkara.
Diskriminasi dan persekusi itu bisa terjadi menurut garis agama, suku,
bahasa, golongan, dan lain sebagainya. Jelas kecenderungan ini merupakan
kemunduran luar biasa dalam sejarah perjalanan bangsa kita. Tentu ini
artinya para pemimpin kita hari ini gagal membawa bangsa Indonesia
menjadi semakin beradab (civilized).
Karena itulah kita sangat menyesalkan dan menyayangkan kasus penutupan 16 gereja dan satu tempat ibadah aliran kepercayaan di Kabupaten Aceh Singkil, Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam. Penyegelan itu dilakukan tim penertiban rumah ibadah yang dibentuk Pemerintah Kabupaten Aceh Singkil, dan berlaku sejak Selasa (1/5) lalu.
Dasar penyegelan itu adalah Surat Keputusan Bersama Dua Menteri tentang
Rumah Ibadah, Peraturan Gubernur No 25/2007 tentang Izin Pendirian Rumah
Ibadah di Aceh, Qanun Aceh Singkil No 2/2007 tentang Pendirian Rumah
Ibadah, dan surat perjanjian bersama antara komunitas Islam dan Kristen
dari tiga kecamatan di Aceh Singkil (Kecamatan Simpang Kanan, Kecamatan
Gunung Meriah, dan Kecamatan Danau Paris) bertanggal 11 Oktober 2001.
Apa pun pertimbangannya, pelarangan mendirikan ataupun penutupan rumah ibadah agama apa pun sungguhlah langkah yang sangat menyakitkan dan melukai hati siapa pun yang mengalaminya. Padahal, kita semua tahu kebebasan beragama dan berkeyakinan merupakan hak-hak asasi yang paling mendasar dan itu semua dijamin dalam kerangka hukum nasional dan internasional.
Dalam kerangka hukum nasional dan internasional, kebebasan beragama itu dijamin dalam Undang-Undang Dasar 1945, Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM (Pasal 4, Ayat 2), Undang-Undang Nomor 29 Tahun 1999 tentang Pengesahan International Convention on Elimination of All Form of Racial Discrimination (CERD), Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2005 tentang Pengesahan International Covenant on Economic, Social and Cultural Rights, dan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2005 tentang Pengesahan International Covenant on Civil and Political Rights.
Kita juga menerima dan mengakui Deklarasi Hak Asasi Manusia Tahun 1948
yang pada Pasal 18 mengatur mengenai kebebasan beragama.
Namun, dengan demikian banyaknya kerangka hukum yang menjamin kebebasan beragama di Indonesia tidak berarti kebebasan itu akan dengan mudah didapat. Dalam banyak kasus negara (pemerintah) malah menindas hak-hak warga negaranya sendiri untuk beribadah.
Demikianlah yang terjadi di Kabupaten Aceh Singkil (juga di Kota Bogor,
di Kota Bekasi, atau di banyak tempat lain). Alih-alih memenuhi
kewajibannya melaksanakan mandat konstitusi, dan berbagai perundangan
yang dibuatnya sendiri, demi memberikan pengakuan, penghormatan,
perlindungan dan pemenuhan hak beragama itu, pemerintah yang justru
melakukan diskriminasi.
Karenanya, kalau hal-hal yang melanggar konstitusi ataupun berbagai perundangan itu dibiarkan, bahkan difasilitasi pemerintah, pertanyaannya adalah: siapa lagi yang akan menjadi pengayom dan pelindung warga negara dalam melaksanakan hak-haknya? Pemerintah yang tidak mampu dan tidak mau melindungi hak-hak asasi warga negaranya, berarti pemerintah itu telah melanggar konstitusi. Kalau konstitusi dilanggar terus, kita sudah tahu ke arah mana negara ini akan menuju.
Kita sependapat dengan Wakil Sekretaris Jenderal Nahdlatul Ulama (Wasekjen NU), Imdadun Rahmat, yang mengakui bahwa perkembangan kehidupan beragama saat ini sudah sangat memprihatinkan dan memperlihatkan kemunduran.
Sebagian dari kita sudah mengingkari pluralitas Indonesia dan sejarah
berdirinya bangsa ini. Yang sangat terasa adalah negara makin tidak
berdaya memberikan perlindungan dan rasa aman kepada warga negaranyam,
khususnya dalam menjamin kebebasan beragama. Sungguh ini situasi yang
sangat membahayakan.
Karenanya, kita mendesak keras agar pemerintah menunaikan tugasnya menjamin kebebasan beragama sesuai amanat konstitusi, maupun berbagai perundangan yang sudah dibuat dan disahkannya sendiri.
Kasus-kasus penutupan gereja seperti di Aceh Singkil harus diakhiri dan
tidak boleh menjalar ke berbagai daerah lain di Indonesia. Diskriminasi
adalah kekejian dan perendahan martabat sesama bangsa Indonesia.
(Sinar Harapan)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Silahkan memberikan Komentar yang positif dan membangun