Melawan Perkebunan Sawit dan Pertambangan Batu Bara
Wahyu Dramastuti | Rabu, 09 Mei 2012 - 15:51:41 WIB
Dibaca : 78
(SH/Yuyuk Sugarman)Segala fitnah dan ancaman terhadap dirinya diabaikan demi kebenaran dan kemanusiaan.
Sepotong senyum
merekah di balik kacamata berwarna hitam berbentuk kotak itu. Adem
ayem rasanya setiap kali berbincang dengan sang empunya senyuman itu.
Apalagi tutur katanya lembut dan tenang pembawaannya. Wajar saja jika
orang menyangsikan dia adalah tokoh penggerak masyarakat untuk
demonstrasi melawan perusahaan perkebunan kelapa sawit dan
pertambangan batu bara.
Dia berani
bersaksi, "Di depan hutan dibabat, di belakang bumi dikeruk".
Padahal sejatinya, Mardiana D Dana (53), nama sosok itu, adalah
seorang perawat di Rumah Sakit Barito Timur sejak 1979. Karena
sebagai perawat dan terjun langsung ke masyarakat, Mardiana mendengar
langsung keluhan-keluhan warga.
Ternyata masyarakat
mengeluhkan kebun, hutan, ladang, sungai, hingga danau dan rawa-rawa
yang sedang digarap perusahaan sawit dan batu bara. "Masyarakat
di sana hidupnya berkaitan dengan alam. Jadi kalau perkebunan karet
dan buah-buahan dibabat habis, lalu mereka hidup dari mana?"
tutur Mardiana, ibu dari dua anak dan dua cucu ini.
Kemudian rakyat
pergi mengadu ke kepala desa dan kepala kecamatan, tetapi
tak memperoleh tanggapan. Akibatnya, terjadi perselisihan antarwarga
dan dengan kepala desa. Bahkan di Desa Janah Jari, ada perusahaan
yang tumpang tindih antara kebun sawit dan tambang batu bara.
Di sana
ada empat perusahaan yang tumpang tindih. Pada 1993 terjadi tragedi
berdarah dan belasan orang meninggal setelah ada bentrok antara
rakyat dan pihak perusahaan. Hal ini terjadi akibat nasi dan padi
milik penduduk yang diambil karyawan perusahaan.
Karena sebagai perawat yang bolak-balik
rumah sakit, Mardiana tidak sempat menghitung berapa jumlah korban
sebenarnya. "Saya memberanikan diri. Saya hanya memohon kekuatan
dan perlindungan Tuhan," katanya.
Lalu ada lagi
kejadian ketika seorang lelaki umur 80-an
yang menawarkan nyawanya untuk masuk hutan. "Saya bilang jangan!
Itulah yang jadi penguat saya, kalau dulu dijajah Belanda maka
sekarang dijajah sesama kita sendiri," tuturnya. Selain itu,
Mardiana punya tanah sekitar 20 hektare yang dibabat orang lain
sampai tidak diketahui lagi di mana batas area miliknya.
Terdorong rasa kemanusiaan, akhirnya
Mardiana mulai bergerak mendampingi masyarakat di Kabupaten Barito
Timur, Kalimantan Tengah itu. "Saya ingin menolong mereka
walaupun kemampuan saya terbatas dan saya malah dianggap sebagai
musuh oleh sebagian orang. Kemudian saya mencari orang-orang yang
bisa membantu keadaan ini, dan puji Tuhan bertemu dengan Aliansi
Masyarakat Adat Nusantara (AMAN)," ujarnya.
Sebelum 2008 dia
sudah aktif mendampingi warga, tetapi
kegiatannya stagnan. Kasih sayang dia salurkan begitu saja seperti
air mengalir, bagaikan mengobati orang sakit. Barulah setelah bertemu
AMAN, kiprahnya makin terfokus.
Akibat aktivitasnya
melawan kapitalisme perkebunan sawit dan pertambangan batu bara,
Mardiana yang berkulit putih itu diancam jiwanya dengan golok,
mandau, juga diteror melalui posel maupun
secara langsung.
"Saya tidak
takut karena berdiri bersama rakyat, memperjuangkan hak hidup,"
tuturnya. Bahkan dengan bangga, perempuan
ini mengatakan, "Kalau sebagai perawat saya hanya menyelamatkan
satu orang, tetapi kalau menyangkut hak hidup berarti menyelamatkan
banyak orang."
Malah, sebagai perawat dia terkadang merasa
frustrasi jika ternyata pasiennya tidak berhasil disembuhkan sehingga
harus dibawa ke rumah sakit. Lalu pelan-pelan Mardiana mengurangi
aktivitasnya sebagai perawat, untuk lebih fokus pada tugas yang lebih
besar.
Awalnya dia dicaci-maki banyak warga dan dianggap sombong,
tetapi lama-kelamaan penduduk bisa memahami mengapa Mardiana
mengurangi porsinya sebagai perawat. Dia
bertekad akan terus memperjuangkan hak hidup rakyat dan selalu
bersama rakyat. Ini karena kalau dirinya membiarkan pembabatan hutan,
berarti dirinya membiarkan masyarakat tidak hidup sejahtera.
Walaupun atas
pembabatan hutan itu rakyat memperoleh kompensasi, kompensasi itu
hanya bersifat sementara dan tidak akan mencukupi hidup seterusnya.
Sebaliknya, jika rakyat diberi hutan untuk dikelola, hidup mereka
pasti akan sejahtera.
Namun apa lacur, pada 2010 kegiatan beberapa
perusahaan di Barito Timur semakin menggila. Bahkan, ada perusahaan
yang kepemilikannya ganda, memiliki pertambangan batu bara dan
perkebunan kelapa sawit sekaligus. Lebih gila lagi, dalam satu desa
ada empat perusahaan.
Mendampingi Tujuh Desa
Mardiana mendampingi
masyarakat tujuh desa di Kabupaten Barito Timur, jadi tahu persis
kondisi ini. Tujuh desa itu antara lain Desa Pangkan, Gunung Krasik,
Sarapat, Pulau Patai, dan Dayu. Ketujuh
desa tersebut sudah dibabat habis demi ambisi pemilik perkebunan
sawit. Bahkan perkebunan merambah hingga sekitar 30 meter dari
pemakaman masyarakat adat.
Di Desa Pulau Patai,
ada perusahaan yang meminta izin membuat
jalan. Karena akses jalan penting bagi warga, warga mengabulkan
permintaan itu. Namun ternyata kemudian, akses itu bukannya untuk
pembangunan jalan, melainkan untuk membuka perkebunan sawit. Padahal,
sebelumnya sudah ada penolakan kebun sawit hingga ke menteri
kehutanan.
Sementara itu, di
Desa Gunung Krasik terdapat lokasi wisata yang indah. Ada
gua dan air terjun menawan hati. Tetapi di sana ada delapan rumah
yang diancam orang yang tamak, karena batu bara muncul di atas tanah
tersebut. Sementara itu, di Desa Rumea, ada halaman sekolah dasar
yang dirambah perkebunan sawit. "Anak-anak main di kebun sawit.
Saya sakit hati karena mereka bisa terkena semprotan pupuk sawit.
Kecamatan Dayu juga sudah dikelilingi kebun sawit.
Menurutnya, ada
fakta sangat menyakitkan, di mana pada 2003–2004 penduduk di
Kampung Sarapat, Kecamatan Dusun Timur, menghibahkan tanah sekitar 20
hektare untuk pembangunan Kabupaten Barito Timur. Namun
ternyata pada 2006 pemda, desa, dan kecamatan menyerahkan desa itu
kepada perusahaan. Rakyat tentu saja protes dan meminta agar hak
mereka itu tidak dijual. Namun sampai saat
ini rakyat hanya bisa gigit jari.
Ada juga kisah sedih
lain yang dituturkan Mardiana, yaitu ada
hutan anggrek paling luas, sekitar 10 hektare, yang musnah karena
disulap menjadi perkebunan kelapa sawit.
Yang paling menyayat
hati, ada dua situs bersejarah, yakni tapal
batas antara Desa Sarapat dan Desa Morotuhu, yang hilang. Padahal di
tempat inilah pernah dilakukan upacara perdamaian secara adat.
Ada
dua orang yang rela dipotong lehernya demi perdamaian dua desa itu
dan darahnya dimasukkan ke dalam lubang pohon besar di sana. "Itu
dilakukan karena warga sudah bosan dengan pertikaian. Namun karena
tidak ada lagi tapal batas itu, orang jadi lupa dengan perdamaian
itu," Mardiana mengingatkan.
Dia menegaskan, merupakan
kebohongan jika ada yang mengatakan masyarakat hidup lebih sejahtera
dengan adanya perkebunan dan pertambangan. Ini karena rakyat yang
sudah dipekerjakan akan diberhentikan secara sepihak dengan berbagai
alasan. Kalaupun ada yang diberi ganti rugi atas tanahnya, hanya
dihargai Rp 1 juta–Rp 3 juta per hektare.
Sebetulnya
bagi rakyat setempat, ada 13 lokasi hutan adat atau hutan penyangga
yang tidak bisa dibagi kepada siapa pun, karena menjadi tempat
berburu, menanam sayur dan tanaman obat-obatan, mencari rotan, dan
sumber air bersih berupa danau.
"Jadi adanya tambang batu bara
dan kebun sawit membuat pemiskinan besar-besaran dan pembunuhan
secara perlahan-lahan," tuturnya lagi. Hal itu terjadi karena
pembuangan limbah pupuk dan semprotan hama kelapa sawit mengalir ke
sungai.
Kegigihan Mardiana melawan pihak tambang dan kebun sawit
membuat dirinya difitnah sebagai teroris dan difitnah pindah agama
hanya karena sebagai muslim sering berkomunikasi dengan para pastor.
Namun, bagi Mardiana, apa pun akan dilakukannya demi masyarakat.
Sayangnya, masyarakat sendiri terbagi dalam tiga kubu, yakni yang pro
terhadap perusahaan, yang kontra, dan yang diam, meskipun mereka
melihat ada oknum Brimob yang mendampingi perusahaan untuk menanam
sawit.
“Saya menyesalkan
mengapa orang-orang kaya dan berpendidikan ternyata lebih miskin dan
bodoh,” Mardiana menegaskan.
Setegar-tegarnya Mardiana, matanya
terlihat berkaca-kaca ketika bercerita bahwa bulu burung juwe yang
biasa ditancapkan di topi, makin jarang karena mulai punah. Topi
lawung pun kian jarang yang membuatnya, karena tak ada lagi kulit
kayunya. Apalagi rompi dari kayu keang, pohon itu pun sudah sangat
sulit dijumpai.
(Sinar Harapan)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Silahkan memberikan Komentar yang positif dan membangun