Panjaitan XVI

Album Keluarga

Album Keluarga
Media untuk menyampaikan Aspirasi, Cerita, Tulisan, Pendapat, Diskusi,Renungan, Gambar dan Peristiwa

Kamis, 10 Mei 2012

Berita

Melawan Perkebunan Sawit dan Pertambangan Batu Bara
Wahyu Dramastuti | Rabu, 09 Mei 2012 - 15:51:41 WIB
Dibaca : 78


(SH/Yuyuk Sugarman)
Segala fitnah dan ancaman terhadap dirinya diabaikan demi kebenaran dan kemanusiaan. 

Sepotong senyum merekah di balik kacamata berwarna hitam berbentuk kotak itu. Adem ayem rasanya setiap kali berbincang dengan sang empunya senyuman itu. Apalagi tutur katanya lembut dan tenang pembawaannya. Wajar saja jika orang menyangsikan dia adalah tokoh penggerak masyarakat untuk demonstrasi melawan perusahaan perkebunan kelapa sawit dan pertambangan batu bara.
Dia berani bersaksi, "Di depan hutan dibabat, di belakang bumi dikeruk". Padahal sejatinya, Mardiana D Dana (53), nama sosok itu, adalah seorang perawat di Rumah Sakit Barito Timur sejak 1979. Karena sebagai perawat dan terjun langsung ke masyarakat, Mardiana mendengar langsung keluhan-keluhan warga.
Ternyata masyarakat mengeluhkan kebun, hutan, ladang, sungai, hingga danau dan rawa-rawa yang sedang digarap perusahaan sawit dan batu bara. "Masyarakat di sana hidupnya berkaitan dengan alam. Jadi kalau perkebunan karet dan buah-buahan dibabat habis, lalu mereka hidup dari mana?" tutur Mardiana, ibu dari dua anak dan dua cucu ini.
Kemudian rakyat pergi mengadu ke kepala desa dan kepala kecamatan, tetapi tak memperoleh tanggapan. Akibatnya, terjadi perselisihan antarwarga dan dengan kepala desa. Bahkan di Desa Janah Jari, ada perusahaan yang tumpang tindih antara kebun sawit dan tambang batu bara.
Di sana ada empat perusahaan yang tumpang tindih. Pada 1993 terjadi tragedi berdarah dan belasan orang meninggal setelah ada bentrok antara rakyat dan pihak perusahaan. Hal ini terjadi akibat nasi dan padi milik penduduk yang diambil karyawan perusahaan.
Karena sebagai perawat yang bolak-balik rumah sakit, Mardiana tidak sempat menghitung berapa jumlah korban sebenarnya. "Saya memberanikan diri. Saya hanya memohon kekuatan dan perlindungan Tuhan," katanya.
Lalu ada lagi kejadian ketika seorang lelaki umur 80-an yang menawarkan nyawanya untuk masuk hutan. "Saya bilang jangan! Itulah yang jadi penguat saya, kalau dulu dijajah Belanda maka sekarang dijajah sesama kita sendiri," tuturnya. Selain itu, Mardiana punya tanah sekitar 20 hektare yang dibabat orang lain sampai tidak diketahui lagi di mana batas area miliknya.
Terdorong rasa kemanusiaan, akhirnya Mardiana mulai bergerak mendampingi masyarakat di Kabupaten Barito Timur, Kalimantan Tengah itu. "Saya ingin menolong mereka walaupun kemampuan saya terbatas dan saya malah dianggap sebagai musuh oleh sebagian orang. Kemudian saya mencari orang-orang yang bisa membantu keadaan ini, dan puji Tuhan bertemu dengan Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN)," ujarnya.
Sebelum 2008 dia sudah aktif mendampingi warga, tetapi kegiatannya stagnan. Kasih sayang dia salurkan begitu saja seperti air mengalir, bagaikan mengobati orang sakit. Barulah setelah bertemu AMAN, kiprahnya makin terfokus.
Akibat aktivitasnya melawan kapitalisme perkebunan sawit dan pertambangan batu bara, Mardiana yang berkulit putih itu diancam jiwanya dengan golok, mandau, juga diteror melalui posel maupun secara langsung.
"Saya tidak takut karena berdiri bersama rakyat, memperjuangkan hak hidup," tuturnya. Bahkan dengan bangga, perempuan ini mengatakan, "Kalau sebagai perawat saya hanya menyelamatkan satu orang, tetapi kalau menyangkut hak hidup berarti menyelamatkan banyak orang."
Malah, sebagai perawat dia terkadang merasa frustrasi jika ternyata pasiennya tidak berhasil disembuhkan sehingga harus dibawa ke rumah sakit. Lalu pelan-pelan Mardiana mengurangi aktivitasnya sebagai perawat, untuk lebih fokus pada tugas yang lebih besar.
Awalnya dia dicaci-maki banyak warga dan dianggap sombong, tetapi lama-kelamaan penduduk bisa memahami mengapa Mardiana mengurangi porsinya sebagai perawat. Dia bertekad akan terus memperjuangkan hak hidup rakyat dan selalu bersama rakyat. Ini karena kalau dirinya membiarkan pembabatan hutan, berarti dirinya membiarkan masyarakat tidak hidup sejahtera.
Walaupun atas pembabatan hutan itu rakyat memperoleh kompensasi, kompensasi itu hanya bersifat sementara dan tidak akan mencukupi hidup seterusnya. Sebaliknya, jika rakyat diberi hutan untuk dikelola, hidup mereka pasti akan sejahtera.
Namun apa lacur, pada 2010 kegiatan beberapa perusahaan di Barito Timur semakin menggila. Bahkan, ada perusahaan yang kepemilikannya ganda, memiliki pertambangan batu bara dan perkebunan kelapa sawit sekaligus. Lebih gila lagi, dalam satu desa ada empat perusahaan.
Mendampingi Tujuh Desa
Mardiana mendampingi masyarakat tujuh desa di Kabupaten Barito Timur, jadi tahu persis kondisi ini. Tujuh desa itu antara lain Desa Pangkan, Gunung Krasik, Sarapat, Pulau Patai, dan Dayu. Ketujuh desa tersebut sudah dibabat habis demi ambisi pemilik perkebunan sawit. Bahkan perkebunan merambah hingga sekitar 30 meter dari pemakaman masyarakat adat.
Di Desa Pulau Patai, ada perusahaan yang meminta izin membuat jalan. Karena akses jalan penting bagi warga, warga mengabulkan permintaan itu. Namun ternyata kemudian, akses itu bukannya untuk pembangunan jalan, melainkan untuk membuka perkebunan sawit. Padahal, sebelumnya sudah ada penolakan kebun sawit hingga ke menteri kehutanan.
Sementara itu, di Desa Gunung Krasik terdapat lokasi wisata yang indah. Ada gua dan air terjun menawan hati. Tetapi di sana ada delapan rumah yang diancam orang yang tamak, karena batu bara muncul di atas tanah tersebut. Sementara itu, di Desa Rumea, ada halaman sekolah dasar yang dirambah perkebunan sawit. "Anak-anak main di kebun sawit. Saya sakit hati karena mereka bisa terkena semprotan pupuk sawit. Kecamatan Dayu juga sudah dikelilingi kebun sawit.
Menurutnya, ada fakta sangat menyakitkan, di mana pada 2003–2004 penduduk di Kampung Sarapat, Kecamatan Dusun Timur, menghibahkan tanah sekitar 20 hektare untuk pembangunan Kabupaten Barito Timur. Namun ternyata pada 2006 pemda, desa, dan kecamatan menyerahkan desa itu kepada perusahaan. Rakyat tentu saja protes dan meminta agar hak mereka itu tidak dijual. Namun sampai saat ini rakyat hanya bisa gigit jari.
Ada juga kisah sedih lain yang dituturkan Mardiana, yaitu ada hutan anggrek paling luas, sekitar 10 hektare, yang musnah karena disulap menjadi perkebunan kelapa sawit.
Yang paling menyayat hati, ada dua situs bersejarah, yakni tapal batas antara Desa Sarapat dan Desa Morotuhu, yang hilang. Padahal di tempat inilah pernah dilakukan upacara perdamaian secara adat.
Ada dua orang yang rela dipotong lehernya demi perdamaian dua desa itu dan darahnya dimasukkan ke dalam lubang pohon besar di sana. "Itu dilakukan karena warga sudah bosan dengan pertikaian. Namun karena tidak ada lagi tapal batas itu, orang jadi lupa dengan perdamaian itu," Mardiana mengingatkan.
Dia menegaskan, merupakan kebohongan jika ada yang mengatakan masyarakat hidup lebih sejahtera dengan adanya perkebunan dan pertambangan. Ini karena rakyat yang sudah dipekerjakan akan diberhentikan secara sepihak dengan berbagai alasan. Kalaupun ada yang diberi ganti rugi atas tanahnya, hanya dihargai Rp 1 juta–Rp 3 juta per hektare.
Sebetulnya bagi rakyat setempat, ada 13 lokasi hutan adat atau hutan penyangga yang tidak bisa dibagi kepada siapa pun, karena menjadi tempat berburu, menanam sayur dan tanaman obat-obatan, mencari rotan, dan sumber air bersih berupa danau.
"Jadi adanya tambang batu bara dan kebun sawit membuat pemiskinan besar-besaran dan pembunuhan secara perlahan-lahan," tuturnya lagi. Hal itu terjadi karena pembuangan limbah pupuk dan semprotan hama kelapa sawit mengalir ke sungai.
Kegigihan Mardiana melawan pihak tambang dan kebun sawit membuat dirinya difitnah sebagai teroris dan difitnah pindah agama hanya karena sebagai muslim sering berkomunikasi dengan para pastor.
Namun, bagi Mardiana, apa pun akan dilakukannya demi masyarakat. Sayangnya, masyarakat sendiri terbagi dalam tiga kubu, yakni yang pro terhadap perusahaan, yang kontra, dan yang diam, meskipun mereka melihat ada oknum Brimob yang mendampingi perusahaan untuk menanam sawit.
“Saya menyesalkan mengapa orang-orang kaya dan berpendidikan ternyata lebih miskin dan bodoh,” Mardiana menegaskan.
Setegar-tegarnya Mardiana, matanya terlihat berkaca-kaca ketika bercerita bahwa bulu burung juwe yang biasa ditancapkan di topi, makin jarang karena mulai punah. Topi lawung pun kian jarang yang membuatnya, karena tak ada lagi kulit kayunya. Apalagi rompi dari kayu keang, pohon itu pun sudah sangat sulit dijumpai.
(Sinar Harapan)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Silahkan memberikan Komentar yang positif dan membangun